HAIDH, NIFAS DAN
JUNUB
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqih
Dosen pengampu : Ridwan, M. Ag
Disusun Oleh:
Siti Asma’ul Khusna (103211044)
Siti Hana (103211045)
Siti Nur Azizah (103211046)
Syaifudin Zuhri (103211048)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
I.
PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat
dari Allah bahwa antara laki-laki dan wanita memiliki perbedaan, baik fisik
maupun psikologis ( cara berfikir ). Karena perbedaan secara kodrat itulah,
maka dalam syari’at islam, Allah juga memberi aturan yang berbeda. Apakah itu
dalam masalah faro’id ( hak waris ), syahadat ( persaksian), qodho’
dan lain-lain. Bahkan ada beberapa masalah yang spesial bagi wanita, seperti
haidh, nifas dan junub bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam makalah kali ini pemakalah akan
membahas tentang masalah yang bersangkutan dengan masalah tersebut. Semoga
Allah memberikan kelancaran, Amien.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Haidh
B.
Nifas
C.
Junub
III.
PEMBAHASAN
A.
HAIDH
1.
Pengertian
Kata haidh secara bahasa
adalah bentuk masdar dari kata haadha yang berarti as-sailaan (mengalir)
dan bersifat ‘urf (kebiasaan, waktu terjadinya dapat diketahui dan
diperkirakan) sehingga secara keseluruhan haidh diartikan mengalirnya darah
pada perempuan dari tempat khusus (pada tubuhnya) dalam waktu-waktu yang
diketahui.
Sementara
bentuk tunggalnya adalah haidhah dan bentuk jamaknya haidhaat,
sedangkan kata hiyadh adalah darah haidh. Kata haidh secara istilah
adalah darah alami yang mengalir keluar dari daerah kemaluan tubuh seorang
wanita sehat tanpa adanya sebab melahirkan. Darah haidh ini berasal dari dasar
rahim yang biasa (rutin) dialami oleh seorang perempuan jika dia telah baligh
(dewasa) pada waktu-waktu tertentu.[1]
2.
Waktu
Haidh
a.
Masa keluarnya
darah haidh.
banyak
ulama’ berpendapat bahwa masa haidh dimulai setelah wanita mencapai usia
minimal 9 tahun. Sedangkan masa berakhirnya masa haidh para ulama berbeda
pendapat:
1)
Malikiyah: bila darah itu keluar dari wanita yang
usianya lebih 13 tahun sampai 50 tahun, maka itu pasti darah haidh.[2]
2)
Hanafiyah:
apabila keluar darah diatas usia 55
tahun, maka itu bukan darah haidh kecuali bila darah yang keluar itu darah yang
hitam atau merah tua, maka dianggap darah haidh.[3]
3)
Hanabilah:
dianggap haidh jika masih dalam usia tidak lebih dari 50 tahun, selebihnya
merupakan istihadhoh walaupun darah berwarna kuat (hitam dan merah tua).
4)
Syafi’iyah:
Tidak ada batasan waktu haidh sekalipun berusia 62 tahun.
b.
Jangka
waktu keluarnya darah haidh.
Kondisi
fisik seorang wanita tidaklah sama. Hal ini mempengaruhi pula terhadap kinerja
organ-organ kewanitaannya, terutama pada saat mereka mengalami haidh. Adapun
darah haidh keluar paling sedikit selama 1 hari 1 malam, umumnya 6 – 7 hari dan
paling lama adalah 15 hari 15 malam. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Imam
Syafi’i.[4]
Sedangkan menurut
maliki minimal waktu haidh adalah 1 jam dan menurut Abi Hanifah 3 hari.[5]
Bahkan diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Shalih, ia mendengar Anas (sahabat Nabi
saw) mengatakan: haidh tidak lebih dari 10 hari”
c.
Sedikitnya
masa suci yang memisahkan antara dua haidh.
Sebagian
besar ulama’ berpendapat bahwa sedikitnya masa suci yang memisahkan antara dua
haidh adalah 15 hari. Ulama lain batas minimal 13 hari. Dan tidak ada batas
maksimal untuk masa suci yang memisahkan antara dua haid, karena haidh bisa
berlangsung lebih dari setahun, kecuali bagi wanita yang mengalami istihadhoh.[6]
3.
Hal-hal
yang diharamkan saat haidh.
Bagi wanita yang sedang haidh, ia tidak diperbolehkan melakukan:
1) Menjalankan salat, baik fardhu maupun sunnah.[7]
Sesuai dengan hadis nabi saw kepada Fatimah binti Abi
Hubbaisy:
اذاأقبلت
الحيض فدعى الصلاة
“Jika datang haidh, maka
jangan engkau shalat”.
2) Membaca ayat-ayat suci al-Quran dengan sengaja.[8]
لا يقرأ الجنب والحائض شيئا من القرأن. رواه إبن رواه
إبن ماجه.
Tidak boleh bagi orang yang
sedang junub maupun yang haidh, membaca sesuatu dari al-qur’an. Hr. ibnu Majjah
3) Menyentuh atau membawa mushaf, atau membawa sesuatu
yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan ayat al-Quran.
لا يمسه إلا المطهرون. ألواقعة:79
“tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan (yang bersuci).
Qs. Al-Waqi’ah 79
4) Melakukan tawaf di baitullah, baik fardhu maupun
sunnah.
إن الطواف با لبيت مثل الصلاة، إلا أنكم تتكلمون، فمن
تكلم فلا يتكلم إلا بخير. رواه الحاكم.
“Sesungguhnya thawaf di
baitullah adalah seperti halnya shalat, hanya saja engkau diperbolehkan
berkata, maka barang siapa yang berkata hendaknya jangan berkata kecuali dengan
perkataan yang baik”.
5)
Berdiam di masjid atau memasukinya.
لا أحل المسجد لحائض ولا لجنب. رواه أبو داود
“aku tidak menghalalkan
masjid bagi orang yang sedang haidh dan tidak pula bagi orang yang sedang
junub”.
6) Berpuasa baik fardhu maupun sunnah.
كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة. متفق عليه
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt (
Maka jauhilah para wanita
dalam kondisi haidh, dan jangan kalian dekati mereka sehingga mereka suci
(bersih).” Qs. Albaqarah: 222
8) Talak (Diceraikan)
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# #sÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# (
Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu,
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya.”
Qs. Attalaq:1
Menyeberang atau melewati masjid jika
khawatir akan dapat mengotorinya (menetesnya darah haidh).
B. Nifas
Kata nifas berasal
dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kelahiran, karena proses ini
terjadi pasca persalinan (setelah kelahiran).[9]
Sedangkan Utsaimin berkata “nifas adalah darah yang keluar dari rahim (seorang
wanita) karena melahirkan, baik (keluarnya) bersamaan dengan kelahirannya
tersebut, sesudahnya, maupun beberapa jam sebelumnya, disertai dengan rasa
sakit.”[10]
Apabila setelah melahirkan seorang
wanita tidak langsung mengeluarkan darah nifas maka cara menghitug waktunya
adalah sejak keluarnya darah nifas dengan catatan tidak melebihi batas suci
haid, yakni lima belas hari sejak melahirkan. Jika setelah
batas suci haid baru mengeluarkan darah, maka darah tersebut bukan darah nifas
melainkan darah haid. Dan wanita tersebut dianggap tidak mempunyai masa nifas
sehingga pada waktu bersih tersebut dia wajib melaksanakan shalat fardhu.
Adapun darah nifas itu sama dengan darah haid yang keduanya adalah bersifat darah kotoran. Karena darah nifas
merupakan darah (haid) yang terhalang untuk keluar pada masa kehamilan karena
dia berubah menjadi bahan makanan bagi si janin dalam kandungan dan jika
kehamilannya selesai serta saluran-saluran darahnya telah putu, maka ia akan
keluar kembali seperti keadaan di luar masa kehamilan.[11]
·
Ketentuan
Masa Nifas.
Ketentuan masa nifas (puerperium)
nampaknya tidak dijelaskan secara tepat dalam al-Qur’an maupun Hadits. sehingga
para ahli fiqh harus melakukan ijtihad sebagaimana dalam menyikapi haid, yaitu
dengan istiqra’. Dengan melalui analisa atau istiqra’ ini, tidak menutup
kemungkinan jika terjadi perbedaan pendapat di antara para mujtahid.
Menyingkapi masalah ini, para ulama
terutama dari kalanga Syafi’i memberikan batasan waktu (standar) puerperium
tersebut dengan batas minimal “sejenak” atau ”seketika”. Oleh sebab itu, jika
terjadi persalinan, katakanlah hanya diikuti dengan perdarahan yang sebentar,
maka waktu tersebut sudah dianggap sebagai waktu nifas. Adapun batas
maksimalnya ialah selama 60 hari sejak berlangsungnya persalinan. Dan mayoritas
wanita megalami puepurium sekitar empat puluh hari, sebagaimana hadis yang
dikemukakan oleh Ummu Salamah r.a:[12]
كا نت
النفساء تقعد على عهد رسول الله ص م بعد نفسها أربعين يوما، ولم يأمرهن النبي
بقضاء الصلاة. (رواه أبو داود، عن أم سلمة.)
Artinya:
”Pada masa Rasulullah saw., para wanita yang sedang nifas tidak melakukan
shalat selama empat puluh hari setelah persalinan mereka, dan Nabi tidak
memerintahkan mengqadla’ salat yang ditinggalkannya.”
(HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
· Hal-hal yang
Diharamkan bagi Wanita Nifas.
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita nifas adalah
sebagaimana yang diharamkan bagi wanita haidh, yaitu: shalat, puasa, masuk
masjid, membaca dan menyentuh al-qur’an, thawaf dibaitullah, diceraikan dan
bersetubuh.
C. JUNUB
1. pengertian
junub
Junub adalah hadats besar yang disebabkan karena bersetubuh dan
keluar mani sehingga mewajibkan mandi denga meratakan air keseluruh tubuh.[13]
·
Mandi
junub
Junub mewajibkan
mandi itu ada dua, yaitu:
1. Keluar
mani, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga
2. Bertemunya
dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan kepala zakar atau sebagian dari
kepala zakar (hasyafah) ke dalam faraj (kemaluan),atau anus, maka semua ulama
mazhab bersepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani.[14]
· Hal-hal
yang
wajib dalam mandi junub.
Dalam mandi junub di wajibkan apa yang di wajibkan dalam
wudhu, baik dari segi kemuthlakan air sucinya
serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat
mensegah sampainya kekulit, serta meratakan air keseluruh tubuh dari atas
kemudian pada bagian tubuh yang kanan lalu pada yang kiri.
2.
Beberapa hal
yang haram dilakukan oleh orang yang saat junub.
Ada beberapa
hal yang haram dilakukan bagi orang yang junub, di antaranya adalah:
- Mengerjakan shalat.
Apabila hendak
mengerjakan shalat, sedangkan dalam keadaan hadats maka kita di anjurkan mandi
terlebih dahulu sebelum mengerjakannya.
Rasulullah
saw. bersabda:
لايقبل
الله صلاة بغير طهور ولا صل قة من غلول
2. Thawaf.
3.
Menyentuh atau
membawa al-qur’an.
Larangan
menyentuh atau membawa mushaf al-qur’an telah disepakati oleh para ulama. T
idak seorang pun sahabat yang menyalahi pendapat ini. Sementara Abu Dawud dan
Ibnu Hazm membolehkan orang yang junub menyentuh dan membawa al qur’an menurut
mereka seseorang yang junub tidak dilarang menyentuh dan membawa al qu’an
berdasarkan hadits-hadits yang terdapat dalam shohih bukhori muslim. Bahwasanya
Rosulullah SAW pernah mengirim surat yang ditujukan kepada Kaisar Heraclius
yang didalamnya terdapat tulisan basmalah dan ayat al qu’an.
4.
Membaca al Qur’an.
Para
ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini. Dalam hal ini jumhur ulama’ melarangnya,
dan yang lain membolehkan. Yang menjadi sebab perselisihanpendapat diantara
mereka adalah adanya beberapa kemungkinan (pengertian) dari hadits Ali RA
mengatakan:
5. Berdiam
dalam masjid.[15]
IV.
KESIMPULAN
Sementara
bentuk tunggalnya adalah haidhah dan bentuk jamaknya haidhaat,
sedangkan kata hiyadh adalah darah haidh. Kata haidh secara istilah
adalah darah alami yang mengalir keluar dari daerah kemaluan tubuh seorang
wanita sehat tanpa adanya sebab melahirkan. Darah haidh ini berasal dari dasar
rahim yang biasa (rutin) dialami oleh seorang perempuan jika dia telah baligh
(dewasa) pada waktu-waktu tertentu.
Apabila
setelah melahirkan seorang wanita tidak langsung mengeluarkan darah nifas maka
cara menghitug waktunya adalah sejak keluarnya darah nifas dengan catatan tidak
melebihi batas suci haid, yakni lima belas hari sejak melahirkan. Jika setelah
batas suci haid baru mengeluarkan darah, maka darah tersebut bukan darah nifas
melainkan darah haid. Dan wanita tersebut dianggap tidak mempunyai masa nifas
sehingga pada waktu bersih tersebut dia wajib melaksanakan shalat fardhu.
Adapun darah nifas itu sama dengan darah haid yang keduanya adalah bersifat darah kotoran. Karena darah nifas
merupakan darah (haid) yang terhalang untuk keluar pada masa kehamilan karena
dia berubah menjadi bahan makanan bagi si janin dalam kandungan dan jika
kehamilannya selesai serta saluran-saluran darahnya telah putu, maka ia akan
keluar kembali seperti keadaan di luar masa kehamilan
Dalam
mandi junub di wajibkan apa yang di
wajibkan dalam wudhu, baik dari segi kemuthlakan air sucinya serta badan harus
suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mensegah sampainya
kekulit, serta meratakan air keseluruh tubuh dari atas kemudian pada bagian
tubuh yang kanan lalu pada yang kiri.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah ini yang dapat kami susun, tentunya masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat kami
harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua, Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Hendrik,, Problema Haidh
Tinjauan Syariat Islam dan Medis, Solo; PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2006
Al-Jamal Ibrahim Muhammad,
Zaid Husein Alhamid, FIQIH MUSLIMAH IBADAT-MU’AMALAT, Jakarta; Pustaka
Amani, 1994
Qodir Muhammad bin Abdil, i’anatunnisa’, (Kediri: PP. Bustanul
Arifin, 1999
Wasmukan., Permasalahan Haid, Nifas, dan Istihadlah; Tinjauan
Fiqh dan Medis, Surabaya: Risalah Gusti, 1994
http://www.
Arti Kata. Com/ Arti-332213- junub. Hrl/ 16 April 2011
Jawad Mughiyah Muhammad., Fiqih Lima
Madzhab,Jakarta: Lentera 2007
[1] Dr. H. Hendrik, M.Kes, Problema Haidh Tinjauan Syariat Islam dan
Medis, (Solo; PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006), hlm. 95.
[2] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, ter. Zaid Husein Alhamid, FIQIH
MUSLIMAH IBADAT-MU’AMALAT, (Jakarta; Pustaka Amani, 1994), hlm. 25
[6] Ibid. hlm. 29
[7] Ibid, hlm. 51
[8] Drs. Wasmukan, dkk., Permasalahan Haid, Nifas, dan Istihadlah;
Tinjauan Fiqh dan Medis, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), hlm. 128-139.
[9] Drs. Wasmukan, op.cit, hlm. 119.
[10] dr. H. Hendrik, M.Kes.,op.cit , hlm. 131.
[12]Drs. Wasmukan, Op.cit.,
hlm. 118-119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar