Minggu, 28 April 2013

FIQIH



HAIDH, NIFAS DAN JUNUB

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqih
Dosen pengampu : Ridwan, M. Ag
                                                          




Disusun Oleh:

 
Siti Asma’ul Khusna                             (103211044)
Siti Hana                                               (103211045)
Siti Nur Azizah                                     (103211046)
Syaifudin Zuhri                                     (103211048)





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
I.          PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat dari Allah bahwa antara laki-laki dan wanita memiliki perbedaan, baik fisik maupun psikologis ( cara berfikir ). Karena perbedaan secara kodrat itulah, maka dalam syari’at islam, Allah juga memberi aturan yang berbeda. Apakah itu dalam masalah faro’id ( hak waris ), syahadat ( persaksian), qodho’ dan lain-lain. Bahkan ada beberapa masalah yang spesial bagi wanita, seperti haidh, nifas dan junub bagi laki-laki dan perempuan.
Dalam makalah kali ini pemakalah akan membahas tentang masalah yang bersangkutan dengan masalah tersebut. Semoga Allah memberikan kelancaran, Amien.
II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Haidh
B.     Nifas
C.     Junub
III.   PEMBAHASAN
A.      HAIDH
1.        Pengertian
            Kata haidh secara bahasa adalah bentuk masdar dari kata haadha yang berarti as-sailaan (mengalir) dan bersifat ‘urf (kebiasaan, waktu terjadinya dapat diketahui dan diperkirakan) sehingga secara keseluruhan haidh diartikan mengalirnya darah pada perempuan dari tempat khusus (pada tubuhnya) dalam waktu-waktu yang diketahui.
            Sementara bentuk tunggalnya adalah haidhah dan bentuk jamaknya haidhaat, sedangkan kata hiyadh adalah darah haidh. Kata haidh secara istilah adalah darah alami yang mengalir keluar dari daerah kemaluan tubuh seorang wanita sehat tanpa adanya sebab melahirkan. Darah haidh ini berasal dari dasar rahim yang biasa (rutin) dialami oleh seorang perempuan jika dia telah baligh (dewasa) pada waktu-waktu tertentu.[1]

2.      Waktu Haidh
a.       Masa keluarnya darah haidh.
            banyak ulama’ berpendapat bahwa masa haidh dimulai setelah wanita mencapai usia minimal 9 tahun. Sedangkan masa berakhirnya masa haidh para ulama berbeda pendapat:
1)      Malikiyah:  bila darah itu keluar dari wanita yang usianya lebih 13 tahun sampai 50 tahun, maka itu pasti darah haidh.[2]
2)      Hanafiyah: apabila keluar darah diatas usia 55 tahun, maka itu bukan darah haidh kecuali bila darah yang keluar itu darah yang hitam atau merah tua, maka dianggap darah haidh.[3]
3)      Hanabilah: dianggap haidh jika masih dalam usia tidak lebih dari 50 tahun, selebihnya merupakan istihadhoh walaupun darah berwarna kuat (hitam dan merah tua).
4)      Syafi’iyah: Tidak ada batasan waktu haidh sekalipun berusia 62 tahun.
b.      Jangka waktu keluarnya darah haidh.
            Kondisi fisik seorang wanita tidaklah sama. Hal ini mempengaruhi pula terhadap kinerja organ-organ kewanitaannya, terutama pada saat mereka mengalami haidh. Adapun darah haidh keluar paling sedikit selama 1 hari 1 malam, umumnya 6 – 7 hari dan paling lama adalah 15 hari 15 malam. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Imam Syafi’i.[4]
      Sedangkan menurut maliki minimal waktu haidh adalah 1 jam dan menurut Abi Hanifah 3 hari.[5] Bahkan diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Shalih, ia mendengar Anas (sahabat Nabi saw) mengatakan: haidh tidak lebih dari 10 hari”
c.       Sedikitnya masa suci yang memisahkan antara dua haidh.
            Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa sedikitnya masa suci yang memisahkan antara dua haidh adalah 15 hari. Ulama lain batas minimal 13 hari. Dan tidak ada batas maksimal untuk masa suci yang memisahkan antara dua haid, karena haidh bisa berlangsung lebih dari setahun, kecuali bagi wanita yang mengalami istihadhoh.[6]
3.      Hal-hal yang diharamkan saat haidh.
      Bagi wanita yang sedang haidh, ia tidak diperbolehkan melakukan:
1)      Menjalankan salat, baik fardhu maupun sunnah.[7]
Sesuai dengan hadis nabi saw kepada Fatimah binti Abi Hubbaisy:
اذاأقبلت الحيض فدعى الصلاة
“Jika datang haidh, maka jangan engkau shalat”.
2)      Membaca ayat-ayat suci al-Quran dengan sengaja.[8]

لا يقرأ الجنب والحائض شيئا من القرأن. رواه إبن رواه إبن ماجه.
Tidak boleh bagi orang yang sedang junub maupun yang haidh, membaca sesuatu dari al-qur’an. Hr. ibnu Majjah
3)      Menyentuh atau membawa mushaf, atau membawa sesuatu yang di dalamnya terdapat tulisan-tulisan ayat al-Quran.
لا يمسه إلا المطهرون. ألواقعة:79
“tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (yang bersuci).
Qs. Al-Waqi’ah 79

4)      Melakukan tawaf di baitullah, baik fardhu maupun sunnah.
إن الطواف با لبيت مثل الصلاة، إلا أنكم تتكلمون، فمن تكلم فلا يتكلم إلا بخير. رواه الحاكم.
“Sesungguhnya thawaf di baitullah adalah seperti halnya shalat, hanya saja engkau diperbolehkan berkata, maka barang siapa yang berkata hendaknya jangan berkata kecuali dengan perkataan yang baik”.
5)      Berdiam di masjid atau memasukinya.
لا أحل المسجد لحائض ولا لجنب. رواه أبو داود
aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haidh dan tidak pula bagi orang yang sedang junub”.
6)      Berpuasa baik fardhu maupun sunnah.
كنا نؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة. متفق عليه
7)      Menikmati bagian anggota tubuh yang terletak antara lutut sampai pusar.
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ (
Maka jauhilah para wanita dalam kondisi haidh, dan jangan kalian dekati mereka sehingga mereka suci (bersih).” Qs. Albaqarah: 222
8)      Talak (Diceraikan)
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# (
Hai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.”
Qs. Attalaq:1
Menyeberang atau melewati masjid jika khawatir akan dapat mengotorinya (menetesnya darah haidh).
 B. Nifas
Kata nifas berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kelahiran, karena proses ini terjadi pasca persalinan (setelah kelahiran).[9] Sedangkan Utsaimin berkata “nifas adalah darah yang keluar dari rahim (seorang wanita) karena melahirkan, baik (keluarnya) bersamaan dengan kelahirannya tersebut, sesudahnya, maupun beberapa jam sebelumnya, disertai dengan rasa sakit.”[10]
 Apabila setelah melahirkan seorang wanita tidak langsung mengeluarkan darah nifas maka cara menghitug waktunya adalah sejak keluarnya darah nifas dengan catatan tidak melebihi batas suci haid, yakni lima belas hari sejak melahirkan. Jika setelah batas suci haid baru mengeluarkan darah, maka darah tersebut bukan darah nifas melainkan darah haid. Dan wanita tersebut dianggap tidak mempunyai masa nifas sehingga pada waktu bersih tersebut dia wajib melaksanakan shalat fardhu. Adapun darah nifas itu sama dengan darah haid yang keduanya adalah  bersifat darah kotoran. Karena darah nifas merupakan darah (haid) yang terhalang untuk keluar pada masa kehamilan karena dia berubah menjadi bahan makanan bagi si janin dalam kandungan dan jika kehamilannya selesai serta saluran-saluran darahnya telah putu, maka ia akan keluar kembali seperti keadaan di luar masa kehamilan.[11]
·    Ketentuan Masa Nifas.
            Ketentuan masa nifas (puerperium) nampaknya tidak dijelaskan secara tepat dalam al-Qur’an maupun Hadits. sehingga para ahli fiqh harus melakukan ijtihad sebagaimana dalam menyikapi haid, yaitu dengan istiqra’. Dengan melalui analisa atau istiqra’ ini, tidak menutup kemungkinan jika terjadi perbedaan pendapat di antara para mujtahid.
            Menyingkapi masalah ini, para ulama terutama dari kalanga Syafi’i memberikan batasan waktu (standar) puerperium tersebut dengan batas minimal “sejenak” atau ”seketika”. Oleh sebab itu, jika terjadi persalinan, katakanlah hanya diikuti dengan perdarahan yang sebentar, maka waktu tersebut sudah dianggap sebagai waktu nifas. Adapun batas maksimalnya ialah selama 60 hari sejak berlangsungnya persalinan. Dan mayoritas wanita megalami puepurium sekitar empat puluh hari, sebagaimana hadis yang dikemukakan oleh Ummu Salamah r.a:[12]
كا نت النفساء تقعد على عهد رسول الله ص م بعد نفسها أربعين يوما، ولم يأمرهن النبي بقضاء الصلاة. (رواه أبو داود، عن أم سلمة.)
Artinya: ”Pada masa Rasulullah saw., para wanita yang sedang nifas tidak melakukan shalat selama empat puluh hari setelah persalinan mereka, dan Nabi tidak memerintahkan mengqadla’ salat yang ditinggalkannya.”
 (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).

·    Hal-hal yang Diharamkan bagi Wanita Nifas.
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita nifas adalah sebagaimana yang diharamkan bagi wanita haidh, yaitu: shalat, puasa, masuk masjid, membaca dan menyentuh al-qur’an, thawaf dibaitullah, diceraikan dan bersetubuh.
 C. JUNUB
1.  pengertian junub
Junub adalah hadats besar yang disebabkan karena bersetubuh dan keluar mani sehingga mewajibkan mandi denga meratakan air keseluruh tubuh.[13]
·      Mandi junub
Junub mewajibkan mandi itu ada dua, yaitu:
1.      Keluar mani, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga
2.      Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), yaitu memasukkan kepala zakar atau sebagian dari kepala zakar (hasyafah) ke dalam faraj (kemaluan),atau anus, maka semua ulama mazhab bersepakat dengan mewajibkan mandi, sekalipun belum keluar mani.[14]
·      Hal-hal yang wajib dalam mandi junub.
Dalam mandi junub di wajibkan apa yang di wajibkan dalam wudhu, baik dari segi kemuthlakan air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mensegah sampainya kekulit, serta meratakan air keseluruh tubuh dari atas kemudian pada bagian tubuh yang kanan lalu pada yang kiri.
2.      Beberapa hal yang haram dilakukan oleh orang yang saat junub.
Ada beberapa hal yang haram dilakukan bagi orang yang junub, di antaranya adalah:
  1. Mengerjakan shalat.
Apabila hendak mengerjakan shalat, sedangkan dalam keadaan hadats maka kita di anjurkan mandi terlebih dahulu sebelum mengerjakannya.
Rasulullah saw. bersabda:
لايقبل الله صلاة بغير طهور ولا صل قة من غلول
2.      Thawaf.
3.      Menyentuh atau membawa al-qur’an.
Larangan menyentuh atau membawa mushaf al-qur’an telah disepakati oleh para ulama. T idak seorang pun sahabat yang menyalahi pendapat ini. Sementara Abu Dawud dan Ibnu Hazm membolehkan orang yang junub menyentuh dan membawa al qur’an menurut mereka seseorang yang junub tidak dilarang menyentuh dan membawa al qu’an berdasarkan hadits-hadits yang terdapat dalam shohih bukhori muslim. Bahwasanya Rosulullah SAW pernah mengirim surat yang ditujukan kepada Kaisar Heraclius yang didalamnya terdapat tulisan basmalah dan ayat al qu’an.
4.      Membaca al Qur’an.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal ini. Dalam hal ini jumhur ulama’ melarangnya, dan yang lain membolehkan. Yang menjadi sebab perselisihanpendapat diantara mereka adalah adanya beberapa kemungkinan (pengertian) dari hadits Ali RA mengatakan:
5.      Berdiam dalam masjid.[15]
IV.             KESIMPULAN
Sementara bentuk tunggalnya adalah haidhah dan bentuk jamaknya haidhaat, sedangkan kata hiyadh adalah darah haidh. Kata haidh secara istilah adalah darah alami yang mengalir keluar dari daerah kemaluan tubuh seorang wanita sehat tanpa adanya sebab melahirkan. Darah haidh ini berasal dari dasar rahim yang biasa (rutin) dialami oleh seorang perempuan jika dia telah baligh (dewasa) pada waktu-waktu tertentu.
Apabila setelah melahirkan seorang wanita tidak langsung mengeluarkan darah nifas maka cara menghitug waktunya adalah sejak keluarnya darah nifas dengan catatan tidak melebihi batas suci haid, yakni lima belas hari sejak melahirkan. Jika setelah batas suci haid baru mengeluarkan darah, maka darah tersebut bukan darah nifas melainkan darah haid. Dan wanita tersebut dianggap tidak mempunyai masa nifas sehingga pada waktu bersih tersebut dia wajib melaksanakan shalat fardhu. Adapun darah nifas itu sama dengan darah haid yang keduanya adalah  bersifat darah kotoran. Karena darah nifas merupakan darah (haid) yang terhalang untuk keluar pada masa kehamilan karena dia berubah menjadi bahan makanan bagi si janin dalam kandungan dan jika kehamilannya selesai serta saluran-saluran darahnya telah putu, maka ia akan keluar kembali seperti keadaan di luar masa kehamilan
Dalam mandi junub di wajibkan apa yang di wajibkan dalam wudhu, baik dari segi kemuthlakan air sucinya serta badan harus suci terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mensegah sampainya kekulit, serta meratakan air keseluruh tubuh dari atas kemudian pada bagian tubuh yang kanan lalu pada yang kiri.

V.                PENUTUP
Demikian makalah ini yang dapat kami susun, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat kami harapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.








DAFTAR PUSTAKA
Hendrik,, Problema Haidh Tinjauan Syariat Islam dan Medis, Solo; PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006
Al-Jamal Ibrahim Muhammad, Zaid Husein Alhamid, FIQIH MUSLIMAH IBADAT-MU’AMALAT, Jakarta; Pustaka Amani, 1994
Qodir Muhammad bin Abdil, i’anatunnisa’, (Kediri: PP. Bustanul Arifin, 1999
Wasmukan., Permasalahan Haid, Nifas, dan Istihadlah; Tinjauan Fiqh dan Medis, Surabaya: Risalah Gusti, 1994
http://www. Arti Kata. Com/ Arti-332213- junub. Hrl/ 16 April 2011
Jawad Mughiyah Muhammad., Fiqih Lima Madzhab,Jakarta: Lentera 2007


 


[1] Dr. H. Hendrik, M.Kes, Problema Haidh Tinjauan Syariat Islam dan Medis, (Solo; PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006), hlm. 95.
[2] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, ter. Zaid Husein Alhamid, FIQIH MUSLIMAH IBADAT-MU’AMALAT, (Jakarta; Pustaka Amani, 1994), hlm. 25
[3] Ibid.
[4] Muhammad bin Abdil Qodir, i’anatunnisa’, (Kediri: PP. Bustanul Arifin, tth), hlm. 11
[5] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, op.cit, hlm. 28
[6] Ibid. hlm. 29
[7] Ibid, hlm. 51
[8] Drs. Wasmukan, dkk., Permasalahan Haid, Nifas, dan Istihadlah; Tinjauan Fiqh dan Medis, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), hlm. 128-139.
[9] Drs. Wasmukan, op.cit, hlm. 119.
[10] dr. H. Hendrik, M.Kes.,op.cit , hlm. 131.
[11] Ibid., hlm. 137.
[12]Drs. Wasmukan,  Op.cit., hlm. 118-119.
[13] http://www. Arti Kata. Com/ Arti-332213- junub. Hrl/ 16 April 2011
[14] Muhammad Jawad Mughiyah,. Fiqih Lima Madzhab,( Jakarta: Lentera 2007) hlm 29-30
[15] Ibid., hlm 119